Adanya sistem dual banking di
Indonesia saat ini merupakan suatu hal yang perlu disyukuri bagi umat muslim di
Indonesia. Adanya perbankan syariah di Indonesia merupakan cita-cita luhur yang
sejak lama diimpikan oleh penggagas adanya ekonomi Islam secara kelembagaan.
Beroperasionalnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) telah menandai babak baru dunia
perbankan di Indonesia. Sebelum ada BMI, sistem perbankan di Indonesia masih
memakai single banking system yang menempatkan instrumen bunga sebagai basis
kekuatan dalam menjalankan segala transaksi perbankan. Single banking system yang biasa kita
sebut sebagai model perbankan konvensional nantinya sebagai pembeda dengan
model perbankan syariah. Setelah ada BMI, dunia perbankan di Indonesia sudah
tidak lagi dimonopoli oleh perbankan konvensional yang umurnya diperkirakan
telah mencapai puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun dan dianggap mempunyai
andil dalam memperbesar kerugian negara di waktu krisis ekonomi 1997.
Prinsip dasar operasional bank islam/ bank
syariah tidak mengenal adanya konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya
adalah untuk tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi
adalah kemitraan/ kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi
hasil, sedang peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa
adanya imbalan apapun.
Perkembangan bank-bank syariah di dunia
dan di Indonesia mengalami kendala karena bank syariah hadir di tengah-tengah
perkembangan dan praktik-praktik perbankan konvensional yang sudah mengakar
dalam kehidupan masyarakat secara luas. Kendala yang dihadapi oleh perbankan
(lembaga keuangan) syariah tidak terlepas dari belum tersedianya sumber daya
manusia secara memadai dan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat
bahwa di masing-masing negara, terutama yang masyarakatnya mayoritas muslim,
tidak mempunyai infrastruktur pendukung dalam operasional perbankan syariah
secara merata. Konskuensi perkembangan di masing-masing negara tersebut
tentunya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan perbankan syariah di dunia. Apalagi pada saat ini produk-produk
keuangan semakin cepat perkembangannya.
Pengembangan produk dalam bank syariah
seringkali terjebak diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu
syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar,
misalnya menyusun undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting
agar bank syariah dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank
konvensional.
Pengembangan produk dalam perbankan
syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk
syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk
semua jenis kategori, tetapi harus mengikuti konsekuensinya. Perlu adanya usaha
terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi
perbankan syariah terhadap produk keuangan di dunia konvensional. Rujukan
(benchmark) keuangan merupakan contoh yang paling jelas dalam hal ini.
Pengembangan produk bukan saja melibatkan
sumber daya yang ada dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya
yang mengerti dan mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di
bank syariah sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara
simultan. Untuk itu Perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu
duniawi dan ilmu agama sejak dini sekali dan ini harus dilanjutkan ke tingkat
berikutnya bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi
pengetahuan agama dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan
tugas perbankan syariah semata, tapi tugas ummat Islam secara nasional. Pendapat mereka
terhadap produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah hanyalah produk-produk
bank konvensional yang dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan dengan
syariah. Sehingga hal ini justru memunculkan anggapan negatif masyarakat bahwa
kata syariah hanya sekedar lipstik dalam perbankan syariah.
Masih terdapat kebingungan pada
karakteristik dasar yang melandasi sistem operasional perbankan syariah, yakni
sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam prakteknya dipandang masih
menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Penyaluran dana bank syariah
lebih banyak bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan
berdasarkan margin, yang masih dianggap oleh masyarakat hanyalah sekedar
polesan dari cara pengambilan bunga pada bank konvensional.
Mereka masih sangat sulit untuk membedakan
antara bagi hasil, margin dan bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah
pada tataran teorinya saja, sedang prakteknya masih terlihat rancu untuk
membedakan bagi hasil, margin dan bunga. Meski secara teoritis sistem bagi
hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah sangat baik, namun yang terjadi pembiayaan
perbankan syariah dengan pola tersebut menurut mereka belum menjadi barometer
bank syariah dan masih sangat kecil.
Dalam bidang hukum tidak adanya UU
yang memberi penjelasan mengenai cara operasional perbankan Syari’ah di
Indonesia antara tahun 1992 – 1998, dan adanya beberapa permasalahan yang
terkait dengan likuiditas perbankan Syari’ah yang berkaitan dengan UU Bank
Indonesia No. 23 Tahun 1999 serta tidak ada badan yang jelas untuk penyelesaian
perkara antarabank Syari’ah dengan nasabah.
Bank Syariah mempunyai nasabah potensial
yang kurang lebih mencapai 78%, bank-bank syariah seharusnya mulai berbenah
diri. Tingginya potensi nasabah dengan rendahnya persepsi masyarakat terhadap
syariah menunjukkan minimnya informasi syariah di masyarakat. Strategi pertama
yang harus ditempuh bank syariah adalah komunikasi eksternal baik dalam rangka
edukasi prinsip syariah maupun produk produk yang ditawarkan. Strategi kedua adalah menciptakan
efisiensi melalui inovasi produk dan inovasi proses. Strategi berikutnya adalah
megembangkan budaya syariah sebagai salah satu usaha menuju good corporate
governance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar